sejarah desa kuanyar

  • Jan 23, 2019
  • kuanyar

  Desa Kuanyar adalah salah satu desa dari sekian desa yang mempunyai cerita tutur mengenai asal mula wilayah ini didirikan. Secara adminsitrasi Desa Kuanyar masuk dalam wilayah Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara yaitu terletak lima kilometer sebelah barat daya kota Kecamatan Mayong. Mendengar kata Mayong  tentu sebagian orang sudah tidak asing, dikarenakan di kota Mayong inilah sejarah pernah mencatat kelahiran salah seorang Pahlawan Nasionl Indonesia yang bernama Raden Ajeng Kartini yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Emansipasi Wanita. Disebut Mayong karena konon diwilayah ini pernah dijadikan sebagai salah satu rute pelarian oleh Sultan Hadirin suami Ratu Kalinyamat pada saat terluka akibat serangan pengikut Adipati Haryo Penangsang seorang Adipati dari Kadipaten Jipang Panolan (sekarang masuk wilayah Blora) Hubungan peristiwa ini dengan asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati. Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar. Sampai sekitar tahun 1996  sekitar 50 meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas. Pada perkembangannya Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal. Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban) menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid) sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug tersebut dua ratus  delapan puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka berdua. Setelah era mbok emban kemudian muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu Harisman (2013-2019)