Sejarah Desa

Sejarah Desa

Konon, menurut cerita dari para leluhur, Mbah Kresek adalah orang pertama yang memberikan nama pada Desa Kuanyar. Awalnya, nama yang diberikan adalah Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Mbah Kresek sendiri merupakan salah satu tokoh penerus sepeninggal Mbok Emban dan Mbah Wali. Diceritakan, Mbok Emban yang mempunyai nama asli Nyai Safah dan suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama aslinya) merupakan orang pertama yang menempati Desa Kuanyar. Sebelum menempati Kuanyar, Nyai Safah adalah pengikut setia Kanjeng Ratu Kalinyamat (Raden Ayu Retno Kencono). Beliau bekerja sebagai dayang di kerajaan Kalinyamatan, bertugas untuk mengasuh Ratu Kalinyamat pada waktu kecil dan mendampingi saat dewasa. Karena tugas mengasuh inilah maka Nyai Safah lebih dikenal dengan panggilan Mbok Emban. Kata "Emban" menurut Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterjemahkan sebagai "inang"; "pengasuh"; "emban". Sehinga sebutan Mbok Emban ini berkaitan dengan tugas Nyai Safah sebagai pengasuh Ratu Kalinyamat.

Setelah Sultan Hadirin meninggal (suami Ratu Kalinyamat ), Ratu memberikan penghargaan kepada Nyai Safah berupa tanah atau wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Kuanyar. Diperkirakan setelah Nyai Ratu Kalinyamat bertapa/semedi karena berduka setelah suaminya meninggal, Mbok Emban bersama Mbah Wali mulai "membabat alas" Desa Kuanyar sebagai tempat tinggal. Mereka membangun pesanggrahan dan tempat tinggal untuk ditempati. Wilayah atau daerah tempat mereka tinggal tersebut kemudian diberi nama Sentono/Astana Raja. Pengambilan nama tersebut semata-mata untuk menghormati dan mengingat jasa Ratu Kalinyamat sebagai pemberi tanah tersebut. Dahulu tempat tinggal dan Pesanggrahan milik Mbok Mban terletak di tepi sungai dan dikelilingi pohon-pohon yang besar. Saat ini, sungai yang terletak di sebelah barat pesanggrahan sudah tidak ada. Letak sungai ini kira-kira di belakang rumah Bapak H. Rohmat atau H. Choiruzaed. Pada tahun 1996, saat belum ada bangunan berdiri, cekungan panjang menyerupai sungai dan dua buah pohon besar masih terlihat.

Pesanggrahan milik Mbok Nyai Emban ini, sering menjadi tempat singgah para musafir. Salah satu orang yang pernah singgah di pesanggrahan ini adalah Datuk Ida Gurnandi. Beliau adalah seorang dai yang berasal dari Singaraja, Bali dan berdakwah keliling di wilayah jepara. Dulu, beliau menetap di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa singorojo. Oleh warga sekitar beliau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Datuk. Sebagai bukti bahwa Mbah Datuk pernah singgah di Pesanggrahan milik Mbok Nyai Emban adalah ditemukannya banyak pohon aren di sekitar pesanggrahan. Diketahui, Mbah Datuk mempunyai kebiasaan menanam biji pohon aren (kolang-kaling) jika singgah pada suatu tempat. Tetapi saat ini pohon tersebut sudah tidak ada, dan terakhir pohon aren masih terlihat pada tahun 80-an. 

Ada cerita menarik di wilayah Sentono di mana Mbok Emban tinggal. Konon, di Sentono pernah berdiri sebuah masjid. Tetapi, masyarakat sekitar Sentono tidak memanfaatkan masjid ini untuk solat berjamaah, sehingga masjid menjadi sepi. Mbah Wali yang mengetahui hal ini menjadi geram dan menendang bedug yang ada di masjid. Karena kesaktiannya bedug terlempar sejauh 300 meter ke arah tenggara. Maksud Mbah Wali menendang bedug tersebut untuk memberi peringatan warga sentono yang tidak pernah berjamaah di masjid. Bedug sebagai alat pemanggil solat yang ditabuh sebelum azan berkumandang seolah hanya menjadi hiasan saja, karena masyarakat tidak tergerak untuk datang ke masjid. Bahkan ada yang bercerita kalau masjid terbakar usai bedug tersebut ditendang. Menurut KH Hasan Janamin (Ulama Sufi yang tinggal di Kauman), pada tahun 1880 tempat jatuhnya bedug tersebut dibangun masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Baitul Mujtahidin.

Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal pada tahun 1600-an dan dimakamkan di pesanggrahan tempat mereka tinggal. Makam tersebut direnovasi Pada saat petinggi Abdu menjabat. Setelah era Mbok Emban berakhir, muncul tokoh-tokoh lain yang tinggal di sekitar Sentono. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi, dan Mbok Dodol. Daerah tempat mereka tinggal kemudian berkembang menjadi Dukuh di Desa Kuanyar, yaitu Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek sebagai tokoh yang pertama memberikan nama Kuanyar kemudian dijuluki sebagai Mbah Lurah. Sedangkan untuk Sentono sendiri, kemudian menjadi bagian dari Dukuh Kauman karena di daerah tersebut menjadi pusat penyiaran agama Islam di Desa Kuanyar.

Setelah Era Mbah Lurah, Desa Kuanyar secara administratif dipimpin oleh petinggi. Dimulai dengan Banis yang memimpin pada tahun 1837-1840, kemudian Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat Hadiwijaya (1945-1975), Abu Cholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), Abdu Harisman (2013-2019), dan sekarang petinggi dijabat oleh Khomsatun dengan masa jabatan dari 2019 Sampai dengan 2025Warga Kuanyar sepatutnya menghargai dan menghormati jasa Mbok Nyai Emban dan keluarganya sebagai tokoh-tokoh pelopor yang "me-mbabat alas" Desa Kuanyar dan menjadi pelopor dalam penyiaran Agama Islam di daerah tersebut.